Arsip untuk Juni, 2012

Director: Ridley Scott

Stars: Noomi RapaceLogan Marshall-Green and Michael Fassbender

Genres: Action | Horror | Sci-Fi

Motion Picture Rating (MPAA): Rated R for sci-fi violence including some intense images, and brief language

Runtime: 124 min

-They went looking for our beginning. What they found could be our end-

Sinopsis

Pada tahun 2089, pasangan arkeolog Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan Charlie Holloway (Logan Marshall-Green) menemukan sebuah gambaran kuno di dinding gua yang menggambarkan susunan gugusan bintang. Gambaran ini muncul di tempat-tempat dan peradaban lain yang terpisah dan tidak ada hubungannya sama sekali. Namun gambaran tersebut begitu identik. Maka para ilmuwan itu secara sepakat mengintepretasikan gambar-gambar tersebut adalah suatu pesan yang bersifat undangan dari suatu tempat yang diyakini sebagai tempat asal mula seluruh kehidupan manusia di bumi.

Berdasarkan susunan gambaran bintang-bintang tersebut, mereka akhirnya menemukan lokasi yang identik dengan gambaran itu. Mereka menyebut tempat itu LV-223. Peter Weyland (Guy Pearce), seorang CEO dari Weyland Corporation mendanai perjalanan mereka ke tempat tersebut dengan membangun sebuah pesawat luar angkasa Prometheus.

Pesawat Prometheus

Sekelompok ilmuwan diberangkatkan dalam keadaan ditidurkan. Sedangkan pesawat luar angkasanya dikendalikan oleh robot android bernama David (Michael Fassbender). Mereka akhirnya tiba di tempat yang dituju pada tahun 2093. Mereka mendaratkan Prometheus di sebuah tempat yang dekat dengan suatu struktur raksasa yang ada di planet tersebut. Di situlah sekelompok tim dikirimkan untuk mempelajari tempat yang diyakini sebagai asal mula kehidupan manusia tersebut. Namun yang mereka temukan justru bisa jadi akan menyebabkan musnahnya umat manusia di bumi.

David si manusia android

Opini

Promosi film ini cukup luar biasa. Menurut pengamat film, Prometheus memiliki berbagai aspek yang membuatnya jadi film unggulan musim panas yang layak diperhitungkan kehadirannya. Bahkan mereka optimis bahwa film ini bisa menjadi kuda hitam diantara film-film rilisan tahun 2012 secara keseluruhan baik dari segi pencapaian finansial dan ataupun kualitas.

Namun menurut saya pribadi, ekspektasi akibat materi promosi justru melebihi dari kenyataannya. Saya melihat film ini belum menghadirkan sesuatu. Sepanjang film saya menunggu adanya klimaks yang luar biasa. Namun nyatanya, film ini secara keseluruhan berkesan baru sekedar pemanasan. Untungnya saya menyadari bahwa film ini memang dipersiapkan untuk berlanjut di sekuel berikutnya. Dengan alasan itu saya bisa memaklumi jika ‘si klimaks’ mungkin saja tidak hadir di installment  ini tapi memang dipersiapkan di sekuel berikutnya. Namun pengakuan sutradara Ridley Scott justru mematahkan harapan saya. Dia berkata, “If we’re lucky, there’ll be a second part. It does leave you some nice open questions.” Ini jelas-jelas mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin sebuah film yang masih terdapat begitu banyak missing link tidak dibuat lanjutannya? Saya anggap si Ridley Scott sudah berhutang besar pada saya dan dia wajib membuat lanjutan kisahnya yang benar-benar bisa memuaskan ekspektasi saya tehadap franchise  ini. Kita tunggu dan kita doakan saja agar Ridley Scott meluangkan waktunya untuk proyek lanjutannya.

Teknologi 3D yang disajikan belum begitu, menggigit. Alur ceritanya telalu mudah ditebak dan emosi dari alur cerita dan penokohan karakternya masih terlalu datar.

Behind The Scene

Prometheus menjadi ajang kembalinya lagi Ridley Scott, sang sineas yang pada tahun 1979 pernah menyajikan Alien, film horor fiksi ilmiah yang luar biasa sukses. Melalui film ini, Scott hendak menciptakan kisah pondasi bagi mitologi Alien yang selama ini belum pernah diceritakan di layar lebar. Pada awalnya Scott berencana membuat film ini sebagai prekuel langsung dari Alien, namundalam perkembangannya, proyek ini menjadi film yang bisa dibilang berdiri sendiri.

Ridley Scott

Proses syuting dimulai pada bulan Maret 2011 hingga Januari 2012 yang dilangsungkan di Kanada, Inggris, Skotlandia, Islandia dan Spanyol dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi. Bahkan, para pemain penting di film ini harus menandatangani persetujuan guna mencegahtejadinya kebocoran plot penting cerita serta kesediaan mereka membaca skripnya hanya kala berada di bawah pengawasan langsung pihak studio.

Suasana Syuting

Ridley Scott mengarahkan proses syuting

Aktris Charlize Theron ketika syuting

Did You Know?

Gemma Arterton, Carey Mulligan, Olivia Wilde, Anne Hathaway, Abbie Cornish dan Natalie Portman pernah dipertimbangkan untuk memerankan tokoh Elizabeth Shaw.

James Franco pernah dipertimbangkan untuk peran Holloway.

Michelle Yeoh pernah dipertimbangkan untuk peran Meredith Vickers yang akhirnya diperankan oleh Charlize Theron.

Film ini awalnya akan diberi judul Paradise. Tapi Ridley Scott sendiri yang mengusulkan memberi judlu Prometheus karena dianggap lebih sesuai dengan tema yang diangkat film ini yang menceritakan tentang proses penciptaan. Prometehus adalah pelayan para dewa-dewi. Dia mencuri dan membagi-bagikan anugerah besar pada manusia berupa api yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan manusia untuk selamanya.

Noomi Rapace, aktris Swedia yang memerankan tokoh Elizabeth Shaw, harus berlatih berbicara dengan dialek British agar sesuai dengan karakter Shaw.

Charlize Theron mengalami kesulitan menjalani adegan berlari di pasir dengan menggunakan sepatu boot gara-gara kebiasaan merokoknya.

Nama tokoh android yang muncul di franchaise Alien, entah sengaja atau tidak, selalu dinamai menurut urutan abjad: Ash (dalam Alien), Bishop (dalam Aliens,dan Aliens 3), Call (dalam Alien: ressurection) dan kini David (dalam Prometheus).

Favorite Quotes

David: Big things have small beginings.

Elizabeth Shaw: My God, we were so wrong…

Detektif Conan Vol. 67Detektif Conan Vol. 67 by Gosho Aoyama

My rating: 4 of 5 stars

detail info:
Paperback, 184 pages
Published May 23rd 2012 by PT Elex Media Komputindo (first published February 18th 2010)
ISBN13: 9786020025483
edition language: Indonesian
original title: 名探偵コナン 67 (Detective Conan #67)

Menyambung kisah di seri sebelumnya, di seri ini Conan memecahkan misteri pembunuhan seorang wanita yang memakai kostum Goth Lili. Atribut dan tren pesta kostum itulah yang digunakan si pembunuh untuk membuat alibinya.

Kisah kedua adalah kisah yang pendek. Melibatkan para detective boys. Kisahnya dimulai ketika mereka bertemu dengan pria pejalan kaki berusia 62 tahun yang begitu bersemangat menunggu hari esok. Pria itu memiliki banyak sekali agenda yang harus dikerjakan esok hari. Namun dibalik itu, ada rahasia yang ditutupinya. Conan harus memecahkan rahasia itu karena menyangkut nyawa seseorang.

Detective Boys

Kisah ketiga adalah kisah utama dan tepanjang di seri ini. Komplotan Jubah Hitam dihadirkan kembali karena mendengar rumor ada orang yang mirip Suichi Akai masih hidup. Organisasi Jubah Hitam melakukan pengintaian di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka meyakini Suichi Akai ada di situ. Di saat yang bersamaan, Conan, detektif Mouri dan Ran terlibat kasus ancaman bom di tempat itu.

Suichi Akai

komplotan jubah hitam

Tak lengkap jika seri Detektif Conan tidak menghadirkan kisah romantis. Seri ini akan ditutup dengan kisah cinta bu Kobayashi dan Shiratori. Saat itu bu Kobayashi juga sedang menjadi saksi terhadap pembunuhan seorang perempuan. Bagaimana akhir dari kisah itu? nampaknya kita harus menunggu kelanjutannya di seri 68.

Shiratori

Kobayashi

View all my reviews

Ternyata mitos itu benar adanya. Setelah aku berhasil menangkap bunga yang dilempar pengantin itu, kini aku bisa menikah paling cepat di antara rekan-rekanku. Dan perempuan yang aku nikahi itu, adalah si gadis pelempar bunga.

I

“Pak, Jaka boleh kuliah gak?” Jaka merasa sudah waktunya pertanyaan itu disuarakan. Masa penghabisan di bangku SMA sudah di depan mata. Sedangkan pertanyaan itu sudah dirumuskan oleh hatinya yang tak pernah nyata bersuara.

“Percayakan sama bapakmu ini, Jaka. Kamu gak perlu khawatir. Kamu memang harus kuliah.” Kata bapaknya. Senyum di sela kata-katanya itu selalu bisa menentramkan hati Jaka yang gulana.

“Memangnya duit bapak cukup?”

“Kamu harus percaya, pasti ada jalan. Harta orang tua gak bakal habis jika dipakai untuk membiayai pendidikan anaknya.”

“Dani bahkan sudah siap-siap duit ratusan juta, pak. Dia merasa gak yakin dengan kemampuannya. Biar duit yang bekerja katanya.”

“Kamu gak perlu mikir duit. Biar bapak yang mikir. Kamu rajinkan lagi belajarmu ya. Percayakan pada otak. Jangan pada duit.”

“Tapi otak Jaka dan otak Dani sama, pak. Dari dulu rankingnya juga selalu atas bawah. Mending kalau atas bawahnya di lima besar. Bapak kan tahu ranking jaka terbaik cuma di peringkat 23.”

“Otak kamu belum telambat untuk dibikin lebih pandai kan? Masih ada waktu Jaka. Itulah senjatamu. Sudah sana, buka bukumu!”

Semangat Jaka kembali tersulut. Dia betekad untuk bisa berkuliah di tempat bapaknya itu bekerja. Bapaknya sudah belasan tahun bekerja sebagai tukang parkir di fakultas Teknik di sebuah Universitas Negeri ternama. Mimpi-mimpi bapaknya agar anaknya bisa menjadi mahasiswa telah tertanam sejak bapaknya bekerja di lingkungan kampus. Tempat para intelektual itu menuntut ilmu. Mimpi itu juga tumbuh di benak Jaka sejak kecil.

II

“Dapet berapa jadinya, Dan?”

“Tujuh ratus lima puluh pa. Ga bisa kurang lagi.” Jawab Dani.

“Udah naik lagi ya?”

“Iya pa. Makin gila-gilaan aja harganya. Tahun lalu, untuk fakultas Kedokteran, tujuh ratus lima puluh itu udah kisaran maksimal. Masih bisa turun. Tapi tahun ini, jumlah segitu udah minimalnya. Maksimalnya sampai delapan ratus.”

Papa Dani geleng-geleng kepala mencerna nominal sebanyak itu.

“Tapi dijamin aman kan?”

“Dijamin aman pa, DP nya bisa sepuluh persen dulu. Sisanya kalau udah diterima. Sistemnya juga aman kok pa. Berlapis gitu. Jadi Dani sendiri gak tahu siapa yang bakal jadi Joki ntar. Dani cuma ketemu sama makelarnya.”

“Ya sudah, pokoknya kamu atur sendiri. Jangan sampai kena tipu lho ya.”

“Beres, pa.”

Di mata Dani, sudah terbayang fakultas Kedokteran yang sudah dimimpikannya sejak sepuluh persen DP itu diserahkan. Mimpi yang menurut Dani harus dikejar meski hal itu berimbas pada papanya yang harus mengeluarkan dana tujuh ratus juta rupiah. Toh papanya juga gak sulit mengumpulkan uang sejumlah itu.

Sepuluh persennya sudah kepegang. Katanya dalam hati. Uang muka sepuluh persen dirasa sebagai cicilan nasib baik juga.

III

Ada  enam orang di ruangan tertutup itu. Si koordinator sudah memulai koordinasinya sejak lima belas menit yang lalu.

“Kita masih memakai sistem tahun lalu karena belum ada sistem yang lebih baik dari itu.” kata koordinator, “Jadi nanti ada lima master yang akan mendampingi pasien.”

Randa tahu betul istilah ‘master-pasien’ itu. Master adalah sebutan untuk joki dan pasien adalah sebutan untuk klien. Sudah tahun ketiga dia jadi ‘master’. Sudah tahu betul seperti apa ‘sistem tahun lalu’ yang dimaksud koordinator.

“Meski kalian sudah pada ngerti, pada hapal, saya perlu review lagi biar kalian tambah mantap.” Kata koordinator, “Terutama untuk Dado sama Tengku yang baru tahun lalu jadi master.”

Dua orang yang disebut namanya manggut-manggut. Yang lain tetap menyimak.

“Kalian berlima  nanti ikut masuk ke ruang ujian sebagai peserta ujian resmi. Alat komunikasi sudah siap terpasang rapi seperti saat technical meeting kemarin sore. Kalian kerjakan soal-soal itu sebaik-baiknya. Lalu kirimkan jawaban ke saya. Jawaban yang terkumpul di saya akan saya analisis. Kesamaan jawaban terbanyak saya anggap sebagai jawaban yang benar. Jawaban itulah yang akan saya kirimkan ke pasien. Tentu saja pasien juga telah dilengkapi alat komunikasi tersembunyi. Untuk mengantisipasi adanya perbedaan kode soal, tolong tuliskan juga kode soal yang kalian pegang. Jadi saat saya nanti tiba-tiba dihadapkan dengan lima jawaban yang seluruhnya berbeda, itu artinya kalian memegang lembar soal yang berbeda. Solusinya gini, nanti akan saya suruh si pasien menuliskan kode soal yang sesuai dengan kode soal salah satu master senior. Meskipun berbeda dengan soal yang dipegang pasien, itu gak masalah karena komputer hanya men-scan kode soal yang ditulis di lembar jawaban. Komputer tidak akan mencocokkan antara lembar jawaban dan lembar soal yang dibawa pasien. Beberapa tahun lalu saya pakai cara seperti itu dan berhasil. Hal itu boleh dilakukan daripada kita tidak profesional dengan memberikan jawaban yang asal atau perkiraan saja. Ada yang mau ditanyakan dulu?”

Tidak ada suara, satu dua menggelengkan kepala.

Koordinator melanjutkan, “Pasien kita tahun ini total tujuh orang. Untuk pembagian fee, meskipun sudah saya tegaskan di awal, sekedar mengingatkan lagi saja, bahwa lima puluh persen total uang yang masuk adalah bagian saya. Sedangkan lima puluh persen sisanya dibagi rata untuk kalian berlima. Bagian saya besar karena risiko yang saya tanggung juga besar. Saya ujung tombak. Saya orang yang langsung berhubungan dengan pasien. Mereka mengenal saya. Sedangkan kalian para master, tetap terjaga identitasnya karena mereka tidak akan pernah bertemu muka dengan kalian. Ada yang keberatan?”

Tidak ada suara. Air muka mereka menyetujui.

“Sedangkan bagian kalian berlima,” lanjut koordinator, “akan dibagi sama rata. Tidak peduli mana master senior mana yang junior. Sekian briefing dari saya. Sesi diskusi saya buka.”

Beberapa orang mulai diskusi dengan sesamanya. Randa tidak butuh lagi diskusi. Dia sudah meluluskan belasan pasien sepanjang kariernya. Dialah master senior.

IV

Seorang pria tambun berkacamata duduk di belakang meja kantor dengan papan nama yang berisi lebih banyak huruf titel dibandingkan dengan huruf namanya sendiri. Bardi namanya. Tanpa nama belakang. Titel itulah yang dipakai sebagai senjata pencalonannya menjadi dekan dua tahun yang lalu. Dan kini dia amat sangat menikmati singgasana tertinggi di lingkungan fakultas tesebut.

Namun hari itu, dahi Bardi berkerut. Hatinya abu-abu. Pikirannya juga sedang letih mengangkat beban masalah. Ditatapnya pesawat telepon di mejanya itu rapat-rapat. Perlu waktu lama bagi Bardi untuk memutuskan mengangkatnya dan menekan serangkaian nomor.

Nada sambung terputus oleh suara seorang pria di seberang sana.

“Ya, halo…” kata Bardi, “Ini saya, Pak Bardi dekan fakultas Teknik. Kalau kamu jadi mau diluluskan semester ini…” Nada kalimatnya semakin canggung.

“…bawakan saya lima puluh ya.” Lanjutnya.

Sesaat kerutan di dahinya mengendur saat Bardi meletakkan gagang telepon. Abu-abu di hatinya sedikit luruh. Dan beban pikiran yang berat itu mendadak sedikit ringan oleh kesepakatan lima puluh juta  pertamanya. Dicentangnya satu nama mahasiswa paling atas yang baru saja ditelpon. Masih ada empat belas lain yang nantinya bisa membantu mengangkat beban hatinya. Beban bernominal tujuh ratus lima puluh juta yang merupakan tiket untuk Dani, anaknya yang kepingin masuk fakultas Kedokteran.

V

Di seberang sana, orang yang ditelepon Bardi tersebut ingin mengumpat menghujat dekan korup itu tapi apalah daya jika dirinya sebenanrya juga hampir sama saja dengan Bardi. Di dunia ini yang terpenting adalah uang.

Untunglah fee DP dari koordinator sudah turun. Pikir Randa sambil menyisihkan lima puluh juta untuk dekan busuk itu. Akhirnya dia bisa lulus juga semester ini.

VI

“Halo, bisa bicara dengan Pak Bardi?” kata seorang pria paruh baya dari sebuah wartel.

“Oh, ini Pak Bardi ya?” lanjutnya ketika sudah mendengar jawaban orang yang diteleponnya, “Sebelumnya maafkan atas kelancangan saya, pak. Begini, saya ingin minta tolong dan minta kerjasamanya dari Pak Bardi…”

Pria itu diam sejenak. Berpikir untuk merangkai kata-kata yang layak.

“Pak, saya tahu betul siapa anda… Saya juga sudah tahu kebusukan Bapak. Saya ada buktinya. Saksinya juga banyak. Mahasiswa-mahasiswa itu cerita semuanya ke saya. Bapak gak punya pilihan lain selain membantu saya. Kalau tidak, saya akan perkarakan kasus Bapak.”

Terdengar suara mencak-mencak di lubang dengar gagang telepon.

“Permintaan saya sederhana Pak. Tidak sebanding dengan pertaruhan nama baik Bapak.”

Vokal yang meninggi dan alunan umpatan kembali meluncur dari lubang dengar. Kemudian terdiam. Tanda kesepakatan tak tertulis telah disetujui dengan terpaksa.

“Loloskan anak saya Pak. Buat dia diterima di fakultas Bapak. Bebaskan dia dari semua biaya pendidikan. Saya rasa itu hal sepele jika dibandingkan dengan kebusukan Bapak.”

Suara di seberang kembali angkat bicara tanda menyetujui. Sekali lagi dengan tepaksa tentunya.

Pria penelepon yang berprofesi sebagai tukang parkir di fakultas Teknik itu mengakhiri pembicaraan dengan ucapan terima kasih. Senyumnya terkembang membayangkan Jaka, anaknya, kelak bisa berkuliah di Fakultas Teknik Universitas Negeri ternama di kota itu. 

Director: Andrew Stanton

Writers: Andrew Stanton (screenplay), Mark Andrews(screenplay), Michael Chabon (screenplay), Edgar Rice Burroughs (story “A Princess of Mars”)

Stars:  Taylor KitschLynn Collins and Willem Dafoe

Genres: Action | Adventure | Fantasy | Sci-Fi

Motion Picture Rating (MPAA): Rated PG-13 for intense sequences of violence and action

Runtime: 132 min

Lost in Our World. Found in Another.

Sinopsis

John Carter (Taylor Kitsch) adalah seorang kapten yang berasal dari virginia. Saat itu dia hidup dalam suasana perang saudara. Usai perang dia dipindahkan ke Arizona dan menjadi pencari emas di sana. Namun dia mendapat tentangan dari penduduk setempat. Salah satunya Kolonel Powell (Bryan Cranston) yang menekannya untuk ikut melawan suku Apache. Carter menolaknya. Maka usaha-usaha pelarian dari kolonel Powell pun sering dilakukan tapi tidak pernah berhasil.

Suatu hari Carter bisa meloloskan diri dari kurungan Powell. Ditengah kejar-kejaran itu, mereka bertemu dengan suku Apache yang justru membalik situasi sehingga Powell dan Carter kini menjadi buruannya. Mereka bersembunyi dari suku Apache di sebuah gua keramat. Di situlah Carter secara tiba-tiba bisa berpindah ke Mars.

Pada awalnya Carter tidak menyadari bahwa dirinya berada di Mars. Yang menjadi pertanyaan hanyalah mengapa dia memiliki kemampuan meloncat yang jauh lebih tinggi dari biasanya dan banyak mahluk-mahluk aneh yang ditemuinya. Carter berjumpa dengan suku Tharks yang terkesan dengan kemampuan super Carter. Karena adanya perbedaan gravitasi yang jauh lebih ringan dripada  di bumi, Carter mampu bergerak lebih lincah danbisa melompat lebih jauh. Di planet itu Carter terjebak dalam petempuran yang telah terjadi ratusan tahun antara negri Helium dan Zodanga. Dalam pertempuran itu Carter menyelamatkan  puteri Helium, Dejah Thoris (Lynn Collins) yang sedang betarung dengan Sab Than (Dominic West), pimpinan Zodanga. Sab Than sendiri diperalat oleh bangsa Thern yang dipimpin oleh Matai Shang (Mark Strong) yang memiliki misi memecah belah dan membuat kehancuran di Mars.

John Carter di antara suku Tharks

John Carter bersama Dejah Thoris

Carter bersama Dejah Thoris dan anak Tarkas (pimpinan suku Tharks), Sola (Samantha Morton) menjalani petualangan dengan konflik-konflik berbagai pihak di planet itu.

Carter melawan monster

Opini

Film ini mendapatkan tantangan terbesar yang dihadapi Disney. Pasalnya, unsur-unsur tema dan plot dalam John Carter sudah begitu sering digunakan di berbagai film seperti Star Wars hingga Avatar. Untuk itu, para sineas John Carter harus bisa menyajikan sesuatu yang lebih hingga para audiensnya tahu bahwa John Cater-lah tokoh pioner dengan segala unsur-unsur dalam plot nya. Tokoh inilah yang bisa menginspirasi kisah petualangan luar angkasa di waktu-waktu setelahnya hingga saat ini.

Namun harapan ini tidak terealisasi sepenuhnya karena nyatanya hasilnya juga biasa-biasa saja. Dari segi cerita yang cukup kompleks itu, alurnya berkesan terlalu cepat. Penggambaran mahluk Mars-nya kurang variatif jika dibanding dengan alien-alien yang ada di Star Wars. Kisah petualangan bernuansa koboi western ini juga masih kalah jika dibanding dengan Indiana Jones. Aksi-aksinya terlalu banyak dibalut dengan spesial efek.

Tapi dari segi cerita, kompleksitasnya lumayan menarik. Twist-nya tetap ada meskipun tidak begitu dominan. Mungkin pujian ini agaknya semu karena sudah tentu segala kebaikan di sisi ceritanya tak lain karena adaptasi dari novelnya yang memang sudah laris.

Behind The Scene

Disney rupanya berambisi dalam menghidupkan kisah John Carter. Maka setelah tahun 2007 mereka mendapatkan hak ciptanya, Andrew Stanton ditunjuk sebagai sutradara dan Mark Andrews sebagai penulisnya.

Sutradara Andrew Stanton

“So much has been deived from this book over 100 years that my first dilemma was, “How the hell do you make this and not look like you’re being derivative yourself?” (Andrew Stanton)

Setelah menyelesaikan proyek Wall-E, sutradara Andrew Stanton secara praktis ‘dipinjamkan’ kepada Disney oelh Pixar untuk mendalangi proyek John Carter ini. Kata Jim Morris, General Manager  dari Pixar, ”It’s not a Pixar film, it’s not an animated film, it’s not a G or PG rated film-probably a PG-13. There are battles and dismembements and things such as that: things not suitable for small children.”

Untuk pengambilan gambar sesi motion capture-nya, para pemain yang memerankan karakter suku Tharks harus mengenakan setelan berwarna abu-abu dan beraksi di set lokasi yang memiliki suhu sampai 100 derajat celcius.

Stanton sedang mengarahkan sang aktor

Suasana syuting di studio

Suasana syuting di studio

Film ini diangkat dari tokoh novel karya Edgar Rice Burroughs. Total ada 11 volume yang peilisan volume pertamanya di tahun 1917 hingga kisah terakhirnya dirilis pada tahun 1964. Filmnya sendiri disetting untuk berformat trilogi dimana seri pertama ini hanya akan mengangkat kisah novel pertamanya yang berjudul A Princess of Mars.

Edgar Rice Burrough

Novel A Princess of Mars

Novel A Princess of Mars ditulis sejak tahun 1991 ketika Burroughs berumur 35 tahun. Publikasi pertamanya justru menggunakan judul Under the Moons of Mars. Burroughs sendiri merasa pesimis ketika membuat novel ini namun kecemasannya tidak beralasan karena novel begenre aksi fantasi ini menjadi pionir tema kisah petualangan antariksa yang populer hingga berpuluh-puluh tahun berikutnya sampai sekarang.

Did You Know?

Sebelum tokoh John Carter jatuh ke tangan Taylor Kitsch, akto Jon Hamm dan Josh Duhamel juga pernah dicalonkan juga.

Taylor Kitsch mengaku menderita masalah hati ketika menjalani diet ketat dan latihan fisik hingga berat badannya berkurang 30 pon.

Film ini dirilis tepat seratus tahun sejak kemunculan pertama kali cerita john Carter yang ditulis oleh Edgar Rice Burroughs pada tahun 1912.

Buku John Carter ditulis di Utah. Film ini juga sebagian besa disyuting di Utah.

Salah satu tato Dejah di tangan kanannya bergambar kepala Mickey Mouse.

Film ini adalah film fomat live action ketiga yang memiliki rating PG-13 setelah Pirates of Caribean: The Cuse of the Black Pearl dan Prince of Pesia: The Sands of Time.

Kisah ini sempat menjalani proses pra produksi sejak tahun 1931. Ini membuatnya menjadi proyek film dengan status development hell (nasib pembuatan yang tidak menentu) paling lama. Ketika itu Robert Clampett sudah melobi novelis Edgar Rice Burroughs untuk mengangkat buku A Princess of Mars menjadi film animasi. Sayang proyek tesebut berhenti di tengah jalan. Seandainya saja bisa bejalan dengan mulus, bisa jadi John Carter akan menjadi film animasi layar lebar pertama di Amerika mengalahkan Snow White and the Seven Dwarfs (1937).

Planet Mars disebut sebagai Barsoom oleh penghuninya. Kata ini berasal dari kata soom (planet: dalam bahasa mahluk Mars) dan bar (artinya: delapan, karena Mars diceritakan berada di posisi kedelapan tata surya setelah matahari, Merkurius, Venus, Bumi beserta sateli-satelit yang berada di antara bumi dan Mars)

Favorite Quotes

–Tars Takas: When I saw you, I believed it was a sign… that something new can come into this world.

–Tars Tarkas: (to john) You are ugly, but you are beautiful. And you fight like a Thark!

–Matai Shang: we do not cause the destruction of a waorld, Captain Carter. We simply manafe it. Feed off it, if you like.