1
Di situlah aku tinggal. Di sebuah rumah kontrakan berukuran empat kali enam meter. Hanya ada satu ruangan di situ yang aku pakai untuk tidur sekaligus memasak. Sebenarnya aku tidak terlalu sering memasak. Lihat saja kompor minyak tanah itu. Bahkan sekarang telah bertumbuh banyak sarang laba-laba di sana. Dan panci-panci itu, mungkin sudah jadi sarang yang nyaman untuk kawanan cicak. Aku lebih sering makan ditempat kerja. Soal MCK itu urusan lain. Bukan urusan yang bikin pusing tentu saja. Aku bisa saja menumpang di mushola belakang rumah. Aku bantu-bantu bebersih di mushola yang selalu sepi itu. Sebagai imbalan, aku boleh memanfaatkan toiletnya sesering aku mau.
Sudah enam belas atau tujuh belas tahun aku di sini. Aku agak lupa. Banyak pekerjaan yang telah aku lakukan di sini tanpa harus berpindah. Untuk ukuran pekerja serabutan, di sinilah surganya. Cobalah lihat di ujung luar gang itu. Ada mandor becak yang menyewakan becaknya. Aku pernah menyewanya selama satu tahun sebelum aku akhirnya memutuskan berhenti karena badanku capek semua sedangkan hasilnya tidak seberapa. Menjadi tukang becak itu harus standby siang dan malam agar bisa menabung.
Lalu sedikit lebih jauh di sana ada terminal. Profesi kernet pun pernah aku jalani untuk waktu yang lumayan lama yaitu lima tahun. Profesi itu cukup untuk membuatku akhirnya punya sebuah motor tua. Tapi nasib mengambil keputusannya sendiri. Bus yang aku kerneti terlibat kecelakaan beruntun menewaskan puluhan orang. Sopir busnya masuk penjara karena terbukti lalai. Dari penyidikan polisi ternyata hampir semua bus tidak layak jalan. Keputusannya: perusahaan bus harus ditutup atau membuat perusahaan bus baru dengan nama yang berbeda. Sama saja membangun peusahaan dari nol, pikirku. Itu artinya harus ada penyusutan karyawan atau istilah yang lebih merakyat: PHK. Sedangkan kondisiku pasca kecelakaan itu: kaki kananku patah dan untuk biaya perawatan rumah sakit, motor tuaku harus aku jual untuk biaya berobat.
Hidup serasa mulai dari nol lagi. Beberapa usaha masih bisa aku coba. Aku mencoba membantu menjaga kios koran seorang kenalan di sudut teminal itu sambil menunggu kakiku hingga bisa berjalan dengan baik. Sambil berharap juga ada mandor bus yang memanggilku kembali untuk menjadi kernet. Beberapa bulan aku menjaga kios, sampai kakiku sembuh benar, belum ada mandor bus yang memanggilku. Aku mulai mencoba naik setingkat menjadi pengantar koran untuk orang-orang yang berlangganan. Kadang aku bisa mencoba peruntungan lewat usaha makelar apa saja. Makelar kecil-kecilan dari barang-barang yang dijual pelanggan koranku yang satu dan aku tawarkan ke pelanggan koran yang lain. Dari usahaku itu aku berhasil membeli sebuah sepeda.
Gang kedua dari ujung jalan besar, rumah ke lima sebelah kiri dari gerbang masuk, di situlah aku melepas segala penat dan lelahku dalam menyambung hidup. Di gang inilah semua orang mengadu nasib mencari perpanjangan hidup. Gang ini cukup terkenal bahkan sampai keluar kota. Tanyalah pada para penumpang yang baru saja turun di teminal itu tentang gang ini, pastilah mereka tahu. Gang kedua dari ujung adalah lokalisasi paling ternama di kota ini. Strategis sekali memang. Pas berada di tengah kota, dekat dengan terminal dan akan menjadi penghasilan tambahan bagi para sopir taksi, ojek dan abang becak yang mangkal di seputaran terminal. Mereka akan mendapatkan bonus jika bisa mendapatkan dan mengantar pelanggan ke gang birahi itu.
Gang ini memang menjanjikan uang dari segala pofesi. Pada suatu hari aku mendengar akan dibangun sebuah hotel di gang ketiga. Inilah lowongan pekerjaan, kataku dalam hati ketika itu. Akhirnya setelah sekian lama aku bebisnis dengan koran aku memulai profesi baruku sebagai kuli bangunan. Aku melihat prospek kedepannya memang cukup menjanjikan karena menjamin kepastian pekerjaan untuk beberapa tahun kedepan. Akan dibangun beberapa gedung besar lagi setelah ini, kata kontraktornya.
Malam ini genap satu tahun aku melepas lelahku sebagai buruh bangunan. Sudah dua bulan ini aku memulai pembangunan gedung baru di sebelah hotel gang ketiga itu. Hotel itu sendiri sudah berdiri megah. Banyak sekali pengunjungnya. Dan aku tahu hotel ini makin menyuburkan bisnis syahwat itu. Menyuburkan bisnis yang berpusat di gang kedua tempat aku tinggal itu. Ya, aku belum kemana-mana. Masih saja di bangunan empat kali enam ini. Masih dengan kesepian yang sama.
2
Sudah enam belas atau tujuh belas tahun aku di gang ini. Tentu saja sudah mengenal betul para perempuan pekerja malam itu. Beberapa perempuan sudah aku kenal selama sepuluh tahun terakhir. Beberapa hanya aku kenal beberapa tahun dan kemudian menghilang entah kemana. Tidak ada perempuan pekerja yang tinggal di gang ini lebih lama dari aku.
Dan gadis itu, aku baru melihatnya sekitar enam bulan terakhir. Gadis yang cantik. Pakaiannya dan cara berjalannya begitu terhormat. Tapi apalah artinya predikat terhormat itu kalau dia tinggal di rumah mewah bertingkat dua dengan arsitektur Italia yang menjulang berhadap-hadapan tepat di depan gubukku ini. Siapa yang tidak tahu tentang rumah itu? Itulah rumah tempat para pelacur paling terhormat. Mucikarinya wanita modis setengah bule. Maka wanita pekerjanya juga sering disewakan kepada para bule. Ada sekitar enam belas pelacur berkelas yang hanya disediakan untuk pelanggan berkelas. Katakanlah wanita di dalamnya memang kualitas ekspor. Sesekali aku melihat mobil mewah berhenti di situ. Aku tahu yang di depan adalah si sopir. Sedangkan penumpangnya di belakang adalah orang yang sering aku lihat di TV warteg. Sesekali seorang artis, sesekali menteri dan keseringan adalah para anggota dewan. Ah sudahlah, aku tidak akan ambil pusing soal itu. Aku hanya orang miskin yang kebetulan melihat tamu-tamu rumah mewah itu dari gubuk minimalisku ini. Dan dengan mobil itu, mereka biasa membawa satu atau dua pekerja seks berkelas itu. Tidak pernah tiga. Mereka tidak akan kuat.
Semua wanita pelacur itu, mau berkelas atau tidak, ya sama saja. Pekerjaan kotor, hasilnya pun kotor, lahir batin pasti ikut kotor.
Tapi gadis itu beda.
3
Siapakah gadis itu? Tidak ada yang tahu betul. Teman-temanku yang juga sering menilai semua perempuan di gang itu pun pasti hanya akan berhenti pada pernyataan: entahlah, baru enam bulan aku melihatnya.
Usianya kira-kira sekitar 25 tahun. Tidak seperti pelacur ekonomis atau pelacur paket hemat yang rata-rata sudah 30 tahun ke atas bahkan mereka masih menjual yang sudah menopause. Cantik, kulit putih terawat tanpa banyak make up, rambutnya hasil dari salon rutin, kukunya selalu berganti warna menyesuaikan warna bajunya. Dan bajunya sendiri, sekalipun aku tidak paham tentang merk ternama, tapi aku tahu semua yang dipakainya sangat mahal. Itulah tampilan fisiknya. Tapi itu semua tidak membuat kecantikannya spesial karena semua wanita di rumah begaya Italia itu memang seperti itu. Mucikarinya juga tidak seperti mucikari lokal yang hitam, gemuk dan kotor. Mucikari yang satu ini kalau dijual pun pasti laku.
Tapi ada yang spesial saat aku melihat cahaya matanya.
Sore itu aku beranjak pulang dari pekerjaan pembangunan gedung di sebelah hotel di gang tiga. Saat itulah aku berpapasan dengannya. Tatapan matanya bertemu dengan tatapanku. Ada keteduhan di mata gadis itu. Ada kedalaman yang menyimpan perasaan tetentu di sana. Tatapannya sangat bersahaja hingga aku sejenak lupa kalau dia seorang pelacur. Hingga dia berbelok memasuki hotel baru itu dan predikat bersahaja itu buru-buru menghilang dari pikiranku. Pastilah hendak menemui klien hidung belangnya, kataku dalam hati.
Malamnya aku tidak bisa berhenti memikirkan sepasang mata gadis 25 tahun itu. Pikiranku melayang ke enam belas atau tujuh belas tahun yang lalu. Mencoba mengingat kembali kenangan akan tatapan mata yang sama. Yang pernah membuatku jatuh hati untuk yang terakhir kalinya. Tidak pernah lagi aku jatuh hati pada pemilik mata lain setelah itu. Mata itu yang kini tidak lagi di sisiku. Yang membuatku kesepian enam belas atau tujuh belas tahun terakhir ini.
Lita, pemilik mata teduh itu, yang tetap teduh ketika kesedihannya yang terakhir itu sebelum dia meninggalkan kehidupan rumah tangga kami. Lita, perempuan yang aku nikahi ketika usia kami masih telalu dini akibat kelakuan kami yang kelewatan. Kami dinikahkan ketika usia kami sama-sama lima belas tahun. Dan akhirnya keluarganyalah yang mendesak Lita untuk meninggalkanku bahkan sesaat sebelum anak kami lahir karena aku tidak pernah bisa menghidupi kami berdua. Aku adalah anak yatim piatu yang tidak becus cari duit.” Kata bapaknya ketika itu. “Menghidupi diri sendiri saja sulit, jangan bermimpi bisa menghidupi anak istrimu.” Tambahnya.
Bersamaan dengan hancurnya rumah tangga kami, aku memutuskan untuk pergi ke kota. Aku tidak mau lagi merepotkan kakekku yang selama ini menghidupiku dengan uang pensiunnya yang pas-pasan. Sudahlah, aku ingin meninggalkan desa dan biarlah masa laluku tertinggal di desa itu. Aku berangkat ke kota untuk mencari hidup baru.
4
Hanya sekali itulah aku berpapasan mata dengannya. Selebihnya justru aku tidak memahami apa yang aku rasakan. Mata teduh itu selalu setia mendatangi benakku ketika aku mulai sulit tidur dan kesepian di ruangan empat kali enam ini. Nampaknya keteduhan tatapannya terlanjur mengendap.
Suatu saat, ketika aku tidak bisa tidur aku mencoba duduk menghadap jendela. Gawang jendela itu cukup rendah hingga aku bisa melipat lenganku di atasnya sekaligus menyangga daguku. Posisi yang sempurna untuk melamun. Anginnya pun sejuk. Saat itulah aku melihat mobil mewah berhenti di depan rumah Italia itu. Gadis itu turun. Dia baru pulang jam segini ternyata. Aku menengok jam yang tergantung di dinding. Jam setengah 3 dini hari. Dan selanjutnya aku tahu itu adalah jadwal kepulangannya. Itu jika dia ada panggilan keluar. Jika pelanggannya yang datang kerumah, pelangan itu akan keluar juga sekitar jam dua-an. Pelacur berkelas memang terjadwal, pikirku. Untuk waktu berangkatnya, aku sering melihatnya ketika aku pulang kerja. Tidak berpapasan, hanya melihatnya dari jauh dan dia beberapa kali berbelok ke hotel baru itu. Benar saja, hotel itu memang memfasilitasi bisnis basah tersebut. Jika dia sedang tidak ada keperluan di hotel itu, aku pasti akan melihatnya keluar dari rumah mewah itu dengan berjalan kaki atau dijemput mobil mewah atau jika sedang tidak perlu keluar rumah, pelanggan akan datang di jam yang sama. Hingga aku bisa menyimpulkan jam kerjanya dimulai sekitar jam 5 sore.
Tiap hari adalah harapanku untuk melihat sosoknya keluar rumah mewah itu, melewati kandang kecil berukuran empat kali enam meterku. Tentu saja dia tidak bisa melihatku di balik gawang jendela ini karena ada semak tanaman yang tak terurus di sana. Tiap hari adalah kebutuhanku untuk melihat sosoknya, dan melihat sedikit tatapan teduh itu yang telah menjadi candu. Sore hari dia akan mengobati lelahku setelah bekerja dan malam hari dia akan menemaniku ketika aku tidak bisa tidur. Walau hanya sekian detik dan dia akan bergegas memasuki rumah angkuh itu. Saat malam tiba, sosok yang sedang pulang itu akan mengisi kerinduanku. Tapi ketika sore tiba, sosok yang hendak berangkat itu membuat hatiku pilu. Dan aku menyadari bahwa sepiku lambat laun telah terisi.
Ya Tuhan, aku jatuh cinta pada seorang pelacur!
5
Inikah yang dinamakan cinta, ya Tuhan? Aku telah merasakan rindu dan cemburu terhadapnya. Seperti yang aku rasakan ketika mengenal Lita kala itu.
Oh, Lita. Lihatlah ada seorang perempuan bertatapan teduh seperti kamu. Apakah Tuhan telah mendatangkan pengganti bagiku karena aku telah layak untuk menikah lagi? Karena aku sudah bisa mandiri? Tapi kenapa Tuhan mengirimkan pelacur itu untuk membuatku jatuh cinta lagi? Ataukah itu adalah ujian dari Tuhan? Tentu saja ini adalah unjian-Nya. Lihatlah diriku ini. Aku hanya kuli bangunan, sedangkan dia tinggal dirumah mewah serta angkuh itu. Tapi bukankah dia hina? Sedangkan aku bekerja dengan halal. Apakah itu petunjuk serta cobaan dari Tuhan tentang bagaimana hakikat dari saling melengkapi dan saling menolong?
Lita, seandainya tidak ada tatapan bersahaja itu, aku tidak akan memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi mengapa tatapan begitu teduh seteduh dirimu itu harus dimiliki oleh seorang pelacur? Inikah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosaku di masa lalu?
Lita, aku tidak tahu dimana dirimu berada. Enam belas atau tujuh belas tahun ini nampaknya Tuhan memang tidak mentakdirkan kita untuk bertemu kembali. Usiaku dulu masih terlalu dini untuk kita bertemu. Itulah dosaku. Saat ini aku berusia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga. Aku sendiri tidak mampu lagi mengingatnya. Namun cukuplah diriku untuk disebut sebagai pria dewasa. Apakah Tuhan mengirimkan cinta itu karena aku sudah dewasa? Karena aku berhak untuk cinta itu? berhak untuk merasakan cinta lagi? Tapi mengapa cinta itu hadir dalam bentuk seorang pelacur? Apakah sekali lagi ini adalah hukuman atas dosa-dosaku?
Ya Tuhan, sejenak aku lupa siapa diriku. Sejenak aku buta akan jati diriku. Siapalah aku? Untuk mendekatinya saja aku tidaklah pantas. Cobalah lihat para menteri, pejabat dan artis yang sering berkunjung itu. Duitnya pastilah tak terbatas. Dan waktumu itu pastilah sudah berharga jutaan per jamnya. Atau sejumlah nominal yang sama sekali tak pernah terbayangkan banyaknya. Siapa namamu, bahkan aku tidak tahu.
Siapa namamu, bahkan aku tidak tahu.
6
Ditengah kerinduan pekat ini, cinta memang membuat mati rasa dan mati pikiran. Kukumpulkan seluruh tabungan yang senilai gaji tiga bulan itu lantas kunaiki sepedaku ke arah pasar di belakang terminal. Kujual sepedaku. Demi cinta aku bersedia berkorban banyak hal. Mungkinkah uang segitu bisa membuat sang mucikari menjual sedikit waktu gadis bertatapan teduh itu padaku? Besok aku akan mencobanya. Setidaknya aku masih memiliki kemampuan menawar. Setidaknya aku akan hanya ingin bercakap sebentar dengannya. Setidaknya aku bisa tahu namanya. Itu saja.
7
Di sebuah kamar di lantai dua dari rumah bergaya Italia itu seorang gadis cantik sedang memandang melalui celah kecil korden jendela keseberang jalan. Ke arah bangunan mungil seukuran empat kali enam meter. Dengan mata yang sangat teduh.
Akhirnya aku menemukanmu wahai lelaki pekerja keras. Aku begitu mengenalmu setelah perjumpaan kita di depan hotel itu. Aku selalu memandangmu dari jendela ini. Memandangi wajahmu yang selalu saja ada di jendela kecil itu setiap malam. Aku merindukanmu.
Aku telah mencarimu. Hanya bermodal foto ini dan namamu. Dan orang-orang terminal kota sebelah itu mengenalmu. ‘Gang kedua dari ujung’, kata mereka. Untunglah engkau tidak pernah beranjak dari sini. Tidakkah kau mengenali aku? Aku sudah lama mengenalmu wahai lelaki yang penuh dengan ketabahan.
Aku mencarimu bertahun-tahun. Tapi apa daya, kekejaman kehidupan kota telah mengubahku seperti ini. Aku telah berubah. Sedangkan engkau, masih saja sama seperti foto yang selalu saja aku bawa ini. Fisikmu memang berubah. Tapi aku melihat kenangan seseorang yang sama di matamu.
Aku telah berubah, maukah engkau mengenaliku sekali lagi? Berusahalah mengenaliku!. Aku mohon berusahalah! Aku tahu hidupku sangat kotor. Aku tahu engkau menganggapku hina. Hidupku memaksaku dewasa sebelum waktunya. Hidupku telah memaksaku untuk tampil 10 tahun lebih dewasa. Maafkan aku karena belum bisa menyapamu waktu itu, ayah…