Director: Gareth Evans

Writer: Gareth Evans

Motion Picture Rating (MPAA): Rated R for strong brutal bloody violence throughout, and language

Runtime: 101 min

“1 Ruthless Crime Lord, 20 Elite Cops, 30 Floors of Hell”

Review

Bersettingkan di kota Jakarta, sekumpulan penjahat kelas berat menghuni di sebuah apartemen yang sudah terkenal sangat sulit untuk dilumpuhkan. Apartemen itu merupakan perlindungan bagi kriminal kelas kakap seperti pembunuh, gangster dan pengedar obat terlarang. Pasalanya pimpinan yang merajai apartemen ini nampaknya memiliki kuasa untuk  membeli para penguasa dan penegak hukum.

Dua puluh tim elit pimpinan Sersan Jaka (Joe Taslim) mengatur strategi untuk melumpuhkan apartemen itu. Rama (Iko Uwais), sang tokoh sentral, adalah salah seorang anggota baru di kesatuan itu. Kedua puluh anggota pasukan itu tiba di apartemen tersebut dan telah ada Letnan Wahyu (Pierre Gruno) yang telah menunggu di sana. Bersama Letnan Wahyu, pasukan elit itu menyusun sebuah strategi penyergapan pimpinan gembong penguasa apartemen yang bernama Tama (Ray Sahetapy).

Sersan Jaka (depan) dan Letnan Wahyu (nomor 2 dari depan) mengintai apartemen sasaran

Rama, anggota baru tim Polisi elit penyerbu

Tama Riyadi, gembong narkotik kejam, penguasa gedung apartemen dan antagonis utama

Pada awalnya penyusupan pasukan berjalan lancar, namun seorang anak kecil yang merupakan mata-mata penjaga apartemen mengetahui kedatangan pasukan ini. Dari sinilah aksi menegangkan akan dimulai. Tama mengerahkan seluruh penghuni aprtemen untuk memburu semua pasukan elit yang sudah terlanjur terjebak di dalam apartemen itu. Mau tak mau para pasukan elit yang tidak bisa keluar lagi dari apartemen itu harus bertahan melawan sekumpulan penjahat kelas berat yang sangat mematikan.

Di lain pihak satu hal yang membuat perkara penyerbuan ini menjadi jauh lebih sulit adalah ketika belakangan diketahui bahwa operasi ini tidak didukung oleh instruksi resmi dari atasan. Melainkan hanya koordinasi dari Letnan Wahyu sendiri. Artinya, tidak akan bisa memanggil bala bantuan.

Aksi tembak-tembakan tak terhindarkan. Jumlah para penjahat itu jauh lebih banyak. Tama juga dikelilingi oleh orang-orang ‘gila’ dengan kemampuan beladiri yang hebat seperti Mad Dog (Yayan Ruhian), dan tangan kanan Tama, Andi (Doni Alamsyah). Ditambah lagi para kriminal penghuni apartemen yang telah menyiapkan senjata lengkap dan tak kalah ‘gila’-nya.

Mad Dog, tangan kanan dan tukang pukul Tama yang berkeahlian silat tinggi

Opini

Indonesia patut berbangga memiliki karya film seperti ini. Tidak melulu memproduksi film drama, komedi, misteri dan jika kehabisan ide cerita yang bagus senjata terakhir pastilah dengan jalan memasang tema sex, memasang artis bokep atau artis-artis yang sudah memiliki predikat seksi. Inilah film yang bisa disandingkan dengan film beladiri action  di jajaran film-film internasional. Bahkan film ini dirilis di Amerika Utara oleh Sony Pictures dengan judul The Raid: Redemption. Sony Pictures meminta Mike Shinoda (anggota Linkin Park) bersama Joseph Trapanese untuk menciptakan musik latar bagi film versi mereka ini.

mike shinoda, gareth evans, joe trapanese

Dari menit-menit awal, film ini langsung menghadirkan aksi-aksi brutal tembak-tembakan, ledakan dan pertarungan jarak dekat dengan koreografi yang memukau. Jika melihat adegan beladirinya sedikit mengingatkan pada film Ong Bak. Penonton akan diajak dengan adegan yang selalu progresif sejak dari menit-menit awal. Membuat jantung selalu berdetak cepat hingga akhir film. Banyak cipratan darah, ledakan bertubi-tubi, perkelahian yang sangat keras dan adegan-adegan yang bikin penonton miris seolah ikut menahan rasa sakit ketika melihatnya. Efeknya luar biasa dan koreografi beladirinya tidak hanya membuat adegan perkelahian menjadi sangat keras tapi juga gerakannya sangat cantik seperti akrobat free style.

Namun beberapa hal yang cukup mengganggu adalah dialog yang kesannya sangat kaku karena memakai bahasa Indonesia yang terlalu baku. Beberapa dialog juga terdengar tidak jelas. Beberapa pemain figuran aktingnya juga masih kaku. Tapi tentu saja kekurangan-kekurangan ini akan tertutupi oleh keseluruhan aksinya yang sangat memukau. Ada beberapa twist kecil di film ini namun tidak terlalu banyak memberikan kejutan. Mungkin jika dihadirkan twist yang lebih kompleks, film ini akan lebih berbobot.

Behind the Scene

Film ini disutradarai oleh Gareth Evans yang sebelumnya juga bekerja sama dengan aktor Iko Uwais dalam film Merantau. Film ini diberi judul Serbuan Maut (kemudian dirilis dengan judul internasional “The Raid“), yang mulai syuting pada pertengahan Maret 2011 dan dirilis secara internasional, yaitu pada tanggal 22 Maret 2012 di Australia dan Selandia Baru; 23 Maret 2012 di Indonesia dan Amerika Utara dan 18 Mei 2012 di Inggris.

Sutradara Gareth Evans

Proses syuting

Proses syuting

 

Hak pendistribusian untuk negara-negara lainnya juga telah dijual kepada Alliance (untuk Kanada), Momentum (Inggris), Madman (Australia dan Selandia Baru), SND (kawasan berbahasa Prancis), Kadokawa (Jepang), Koch (kawasan berbahasa Jerman), HGC (Cina), dan Calinos (Turki). Kesepakatan juga telah dibuat dengan para distributor dari Russia,Skandinavia, Benelux, Islandia, Italia, Amerika Latin, Korea Selatan, dan India ketika film ini sedang dipertunjukkan pada Festival Film Internasional Toronto (TIFF), Toronto, Kanada pada September 2011.

Sang aktor, Iko Uwais dan Yayan Ruhian menjadi fight choreographer dalam film ini.

Aktor sekaligus koreografer Iko Uwais

Aktor sekaligus koreografer Yayan Ruhian

Did You Know?

Sebelum memulai karirnya di dunia perfilman, Iko Uwais adalah seorang driver truk. Pertemuannya dengan sutradara Gareth Evans pertama kali pada tahun 2007, ketika sang sutradara sedang melaksanakan proses syuting untuk sebuah film dokumenter tentang Silat di sekolah Silat Iko. Bakat Iko akhirnya membuat tertarik sang sineas yang mengontraknya selama 5 tahun. Film pertamanya adalah Merantau.

Di ajang Pencak Silat, Iko pernah meraih Juara III, Kejuaraan Daerah Antar Perguruan DKI Jakarta tahun 2003, dan sebagai Penampilan Terbaik Kategori Dewasa Tunggal pada Festival Pencak Silat Cibubur tahun 2005.

Penghargaan untuk film ini adalah:

  • The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award, TIFF 2011
  • Salah satu dari 11 film yang menjadi Spotlight dalam Festival Film Sundance 2012
  • Terpilih menjadi penutup sesi FrightFest dalam Festival Film Glasgow 2012
  • Audience Award dan Dublin Film Critics Circle Best Film dalam Festival Film Internasional Dublin Jameson 2012.

Komentar
  1. Yusuf Abdac berkata:

    Film yang paling aku tunggu sejak 2011. Tapi, karena satu dan lain hal, kayaknya harus tunggu tayang di TV aja deh. *sedih*

  2. junaidi m berkata:

    emang masih lama ya kalau tayang di TV?

  3. Senang sekali bisa membaca ini. Hebat ya. Malah diputra di negeri orang duluan ini ya?

    Dan buat saya tulisan ini saja sudah cukup banget. Soalnya kalau nonton langsung pasti nggak tahan melihat sendiri adegan orang berantem dan berdarah-darah..

    Thanks ya..

    • eraha berkata:

      tapi yg jadi ironi, sutradaranya masih orang luar mbak,,,jadi muncul pertanyaan: “apakah sutradara kita belum bisa bikin yang sehebat ini? Ya pantas aja bagus, yg bikin juga orang luar…”

      hehehe,,,klo ngoperasi hewan mpe berdarah2 mungkin lebih tahan kali ya mbak,,, ^_^

      makasih uda mampir

      • ya, sayang banget. Saya kurang tahu untuk kwalitas sutradara layar lebar. Kalau sutradara untuk iklan sih selama ini saya pikir cukup banyak sutradara lokal yang lumayan oke belakangan ini. Tapi itu kan durasinya pendek baanget dan nggak bisa dibandingkan dg film layar lebar. ya, dengan melakukan banyak pengerjaan film bareng dengan luar, mudah-mudahan ke depannya para sutradara film kita jadi lebih banyak bisa belajar. Adopt & Adapt dari teknik-teknik sutradara film luar..

        He he.. kalau yang itu kan beda ceritanya he he..

  4. nasib tinggal di daerah yang bieskopnya minim… mesti tunggu ketinggalan dulu baru bisa nonton.. 🙂

  5. Citra Taslim berkata:

    paling suka actingnya yayan ruhian… mantep banget.
    dari segi cerita menurut saya biasa saja.
    awalnya agak ogah2an nonton film ini. tapi tetap nonton juga.
    tapi pengenalan seni bela diri khas indonesia lengkap dengan parang yang digunakan sebagai senjata perlu di apresiasi.
    totalitas dalam tiap adegan nya saya juga suka, jarang2ada film indonesia yang kayak gini.
    mau rugi ngerusakin apartemen atau barang2 elektronik.
    dari awal sampai akhir menghadirkan adegan berantem yang dramatis dan apik, rugi kalau di tonton sambil menutup mata.

    akhir bulan ini ada film bagus yang menurut saya recommended buat di tonton mas, film Indonesia yang baru minggu lalu saya nonton thrillernya… “Modus Anomali”.

    • eraha berkata:

      dari segi cerita emang masih datar,,,semoga sekuel berikutnya yg rencananya berjudul “berandal (2013)” bisa lebih oke.

      beladirinya emang kayak akrobat,,,klo suka film ini pastinya juga suka sama trilogi “Ong Bak” dari thailand.

      oke,,”modus anomali” emang layalk ditunggu juga

      • Citra Taslim berkata:

        i do hope so…dukung buat kebangkitan perfilman indonesia deh…
        jadi cerita dapet, aksinya juga dapet.

        Kalau Ong Bak belum pernah nonton. maklum, tes keberanian saya yg pertama nonton film action dimulai dr The Raid mas. Ternyata bisa dan sukses nonton film ini tanpa ketakutan atau berkedip.

        Kedepannya bakal sering nonton film action juga nih.

        Saya sedang menanti modus anomai diputar di semarang =)

Tinggalkan komentar